Yuhu!
Bjir pas gue liat lagi ternyata terakhir gue nulis udah 2019, 4 tahun lalu! Ain't time goes by so fast with all those crazy pandemics and stuff?
Pandemi kemaren gak main-main sih, karena gue dan temen-temen gue banyak ngalamin kehilangan orang-orang terdekat yang pastilah nggak tergantikan. Tapi gue bukan mau cerita-cerita sedih sih di sini, like, udahlah, sedih-sedihannya udah cukup pas ditinggal kemaren aja. Gue justru mau cerita apa ya...tentang kemalasan gue. Wakakak.
Ya, jadi gini, tahun ini kan intinya gue genap satu dekade single. Apa aja sih yang gue dapetin selama 10 tahun ini? Yang jelas, sih, satu: rasa malas. Malas mencari pasangan, malas mencari teman kencan, malas ikut online dating, malas drama, malas melayani orang-orang nggak jelas apalagi stranger, malas scroll halaman dating apps yang ujung-ujungnya cuma buat swipe kiri foto orang-orang yang tidak visual, intinya gue malas sekali mengundang orang baru secara aktif. Artinya apa nih, Bang Messi?
Artinya, gue sang pakar cinlok cenderung demen sama yang ada di depan mata aja. Meskipun mereka obviously bloody bright red flag.
Bentar, kok gue jadi malas ya melanjutkan nulis ini? WKWK makanya judulnya jangan 'Malas' dong!
Tapi, kemalasan gue, tuh, sebenernya bukan cuma soal itu aja. Sering gue tuh misalnya pengen melakukan sesuatu, udah kepikiran nih mau dikerjain, tapi tiba-tiba malas dan nggak jadi. Ini mencakup apa aja sebenernya, termasuk mendaftarkan kantor buat ikutan beauty contest di perusahaan tempat temen gue kerja yang notabene membawa gue selangkah menjadi partner di kantor, ya walaupun emang guenya nggak mau jadi partner, orang gue kepengen switch career jadi istri duda kaya childfree budak korporat di perusahaan, kok. Wkwkwk.
Oke, balik lagi ke soal malas mencari partner, sang pakar cinlok akhirnya kena batunya. Ya soalnya gini aja deh, gue udah bergabung di 'suatu tempat' selama 7 tahun lebih dan nggak pernah di situ ketambahan anggota yang sangat menarik secara visual. Oh bukan, bukan berarti gue nggak pernah naksir siapapun di situ, pernah kok, malah pernah gue ceritain di sini. Cuma waktu itu gue naksirnya agak lamaan bukan yang love at the first sight tapi karena sering interaksi, dan setelah dia pun nggak ada orang lain sama sekali yang bikin gue merasakan hal serupa. Bayangin aja, gue naksir si sugar-sugar itu sekitar akhir 2015 sampe...entahlah, mungkin tengah atau akhir 2016? Setelahnya cuma bergabung anggota-anggota hopeless yang tidak menarik secara visual dari tahun ke tahun, gimana bisa gue percaya bakal bergabung anggota menarik? Jadi gue tantangin aja sekalian dengan bilang:
Gue mah, nggak bisa, lah, naksir-naksir orang dari online dating dan dikenalin, gue bisanya naksir sama yang datang ke depan mata gue.
Tentunya dengan ekspektasi bahwa sampai kapan pun nggak akan pernah gue naksir siapapun karena yang datang ke depan mata gue nggak pernah cukup taksir-able.
Beberapa bulan menuju satu dekade kejombloan gue, akhirnya gue kena. Cuma ini naksirnya bukan sekadar karena cinlok sih, ya, melainkan juga karena targetnya cakep WKWKW cuma dibilang love at the first sight nggak tepat juga, mungkin lebih tepat kalo tertantang at the first sight gak, sih AWOKAOKWOAKWO I mean like, 'oke, lo lucu, walau aneh, tapi lucu, gue suka' gitu. Cuma, ya, mungkin karena ketemu tiap hari dan gue nggak (seberapa) ngincer buat jadi pacar dan beliaunya juga masih ada pacar ya jadi gue nggak melancarkan serangan kilat. Hubungan gue sama dia juga cuma sebagai sesama keyboard warrior yang saling ngemodus dan ngegombalin semacam di Portland, lagu favorit gue ini:
Breathe it in just to keep us dysfunctional
We’re holding strings to see who’s more delusional
You lead me on to the edge of my seat
As I'm hanging on to every word to make ends meet
Expanding options as we run out of things to say
LED screens with small talks just to display
Conveying scenes that could fuck my whole day up
And sinking feelings, would this be enough?
Well, long story short, in the end we confirmed that we indeed adore each other, we like each other, we want each other, cuma karena ada tembok tinggi? atau jurang yang sangat dalam? kita bahkan nggak bisa jadi pacar selain karena emang gue nggak mau berurusan dengan keribetan status pacar yang selama ini selalu bikin gue jadi orang problematik. Also, we knew exactly that our sad ending is before our eyes jadi mending nggak usah dinaikin statusnya and we just have fun with the present, making every moment worth spending, while I make sure we're both happy with every single time spent together. Ada gila-gilanya, sih, emang, udah tau nggak bisa bersatu, nggak bisa dapat happy ending, tapi digas terus wkwkwkw well but that's just what it is. When this ends, I don't want us to hate each other or to recall what we had in pain, I want us to remember us as one of the nicest memories in our lives.
Oh, ya, balik lagi ke soal kemalasan, guenya juga aneh, deh, sepanjang situationship ini (dan dari sebelumnya, sih). Kayaknya kemalasan gue melakukan apa-apa tuh makin bertambah, ya itu, mau melakukan ini-itu tapi keburu malas dan akhirnya nggak jadi. Mau baca ulang chat gue sama dia, malas. Mau bilang suka/sayang properly, malas. Mau muji apanya gitu, malas. Bahkan mau cemburu atau curiga terkait misalnya dia berhubungan sama orang lain juga malas karena emang gue nggak ada hak awkowkoakoak tapi di sisi lain nggak apa-apa, deh, gue malas. Abisnya kalo nggak banyak malasnya nanti semuanya dikerjain dan ujungnya jadi baper sampe rusak mental health kayak yang udah-udah, padahal pacaran aja enggak. Ini juga, sih, yang bikin gue jadi nggak mau dapet status pacar, begitu putus pasti bakalan hancur lebur guenya, walau nggak tau juga, sih, ya, setelah satu dekade masih sama atau nggak. Cuma, 'kan, mending diantisipasi dari sekarang daripada bablas dan guenya rusak beneran sampe nggak bisa sembuh lagi.
Kayaknya satu dekade single ini bikin gue jadi terlalu nyaman sendirian dan terlalu sayang sama diri sendiri, deh. Gue jadi bener-bener nggak mau lagi kehilangan diri gue sendiri kayak kalo dulu suka atau jadian sama orang. Pun ketika beliau bilang ingin sesuatu dari gue, yang kalo didenger sama gue yang dulu pasti gue akan berbunga-bunga dan mengiyakan, gue tetap teguh nggak mau mengabulkan karena gue udah memutuskan untuk nggak memiliki itu dengan siapapun due to financial and mental health issues. Lagian juga, kenapa dia pengen itu, sih, dari gue? 'Kan, gen dia udah cakep wkwkwk kalo digabung sama gue apa gak terancam rusak? AWKOAWOWKOAKWOAK~
Baiklah, jadi, kayaknya sekian dulu cerita gue tentang kemalasan dan percinlokan ini. Intinya sih, sendirian itu enak banget, sempurna, bahkan mungkin terbaik buat gue, tapi ternyata kalo ada orang yang suka dan gue juga suka rasanya hidup jadi lebih lengkap meski statusnya nggak bisa naik :')
I'm perfect all by myself, but your presence brightens up my days
Oh anyway, we do everything in the dark. Nobody, especially people in our circle, is allowed to know about this. As for me, I cannot let too much people know about us too, because...
well...
I have a reputation to maintain :)